Halaman

Kamis, April 28, 2011

CERPEN: TUJUH HARI SAJA!

“Hei, bangun!”
Mungkin kalimat kolaborasi itu yang akan aku dengar jika jam dinding, weker, serta baju yang kugantung di belakang pintu bisa berbicara. Tapi ini dunia nyata. Hanya suara ibu yang terdengar, yang selalu membuatku membuka mata di awal aktivitasku beberapa hari ini. Itupun karena dalam beberapa hari ini aku selalu lupa menyalakan alarm pada jam wekerku.
Dengan lekas kunyalakan lampu. Uh…cahayanya merasuk kasar ke dalam bola mataku. Aku bangkit dari pembaringan dan langsung terduduk. Lalu kuperhatikan keadaan kamar, masih sama seperti pada saat aku tinggal tidur tadi malam.
Pagi ini masih terasa sangat sejuk. Seharusnya udara sejuk inilah yang bias membuatku terlebih otakku untuk kembali segar dan siap menjalankan aktivitas hari ini dengan baik. Namun entah mengapa udara segar hari ini tak membuatku seperti itu. Udara sejuk kali ini bukannya membuatku bersemangat melihat ke depan, tapi malah membuatku teringat pada peristiwa kemarin.
Kemarin adalah hari yang menjembataniku pada kesulitan-kesulitan yang melelahkan. Kesulitan-kesulitan yang juga membingungkan. Kemarin Flury nembak aku lagi untuk yang ketiga kalinya. Ia sangat tidak puas jika status hubungannya denganku hanya sebatas sahabat, meskipun ini cara terbaik untuk kami berdua. Aku sangat menyayangkan keputusannya yang selalu mendesakku agar aku menerima cintanya. Jujur saja saat ini bahkan mungkin untuk haru-hari selanjutnya, aku tak pernah memiliki perasaan yang istimewa padanya seperti yang ia rasakan terhadapku. Aku hanya menganggapnya sebagai seorang adik, tak lebih. Karena Flury lebih muda 5 bulan dariku. Sehingga aku sering memanjakan dia layaknya seorang kakak terhadap adiknya.
Satu hal yang membuatku sangat kebingunan adalah Flury merupakan seorang gadis manja yang nekat melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Kali ini dia nembak aku dengan menyertai sebuah ancaman andaikan aku tidak menerima cintanya. Dia mengeluarkan ancaman akan bunuh diri! Oo…sebegitu besarnyakah cintanya terhadapku? Lalu mau di kemanakan hubunganku dengan Venus yang baru seminggu ini terjalin? Uuuh…aku super bingung! Otakku dipenuhi berbagai macam pemikiran yang tak berguna di pagi ini. Pagi yang seharusnya menjadi penyejuk kegelisahanku atas kejadian-kejadian kemarin atau kemarin lusa.
***
Aku tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Lalu aku masuk kelas dengan sejuta kegundahanku. Ternyata aku adalah orang pertama yang hadir di kelas. Tas gendong hitam kesayanganku kubanting keatas meja seperti mengisyaratkan pada dunia bahwa…”Hai…inilah seorang Rhino yang sedang mengalami kebingungan mendalam!”
Aku duduk dan kembali memikirkan apa yang harus aku lakukan terhadap tawaran Flury nanti. Namun sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, si nona pembuat pusing sudah dating dengan sejuta senyum yang sama sekali tidak aku suka.
“Hai…Rhino!” sapa Flury sambil mendekatiku dan duduk di sebelahku.
Meskipun malas, aku tetap berusaha menghargai sapaannya. “Hai…”
“Rhino…tawaran Flury udah Rhino pikirin baik-baik kan? Dan jawabannya pasti iya kan? Ayolah, No!” desak Flury. Kedua tangannya mencengkeram kedua lenganku.
“Flur, Rhino bukannya gak mau jadi pacar Flury, tapi…”
“Tapi apa, No?” potong Flury.
“Venus!” jawabku singkat.
“Huh…dia lagi dia lagi. Emangnya Flury pikirin! Yang pasti sekarang Flury mau Rhino jadi pacar Flury, titik!”
Aku menatap wajah Flury dengan tajam. Keteraturan nafasku semakin menjauhi normal. Lalu aku memandangi keadaan sekitar. Makin lama makin banyak orang yang hadir di kelas. Apalagi jam dengan lingkar biru yang bertengger di dinding kelasku mengarahkan jarum panjangnya ke angka 12, itu berarti pukul tujuh tiba sudah. Apa yang harus aku lakukan? Menerima cinta Flury atau menerima akibat dari penolakanku?
Mulut, hati, dan pikiran ini terasa tersendat menghadapi sesuatu yang harus aku hadapi sekarang. Aku masih belum mau membuka mulutku dan mengeluarkan pernyataan. Tapi Flury masih saja terus dan terus mendesakku. Lenganku diguncangkannya keras-keras sebagai tanda ketidaksabarannya. Namun sebelum satu kalimat keluar dari mulutku, guru Fisika keburu datang dengan langkah berwibawanya.
“Flur, ada Pak Samsu. Ngomongnya dilanjutin aja nanti ya, pas jam istirahat,” kataku dengan suara rendah namun cepat.
Flury menyingkir dari mejaku. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Namun dari wajahnya, aku melihat ada guratan kekesalan padanya atas kejadian ini. Tidak sepertiku yang sedikit lega atas kehadiran sang guru Fisika. Seridaknya aku masih punya waktu beberapa jam untuk kembali menelaah dan memikirkan apa yang harus aku perbuat nanti.
Maaf Pak, hari ini aku tidak dapat berkonsentrasi dengan pelajaran yang bapak berikan!
Setengah jam berlalu. Pak Samsu masih menerangkan mata pelajarannya dengan tanggung jawabnya yang tinggi. Catatan pun telah diberikannya untuk kami salin dan kami pelajari. Tapi aku ingkar terhadap janjiku sebagai pelajar. Buku milikku masih kosong. Benar-benar kosong. Andai saja saat ini aku tengah berada di atas batu karang yang berhadapan dengan samudera bebas, aku akan berteriak sekeras mungkin. ARRRRRGH!!! Aku pusing. Aku bingung. Aku tak sanggup lagi berkata-kata.
***
WOW! Bel istirahat sudah berteriak dengan lantang. Mungkin ini adalah suara bel yang paling aku benci sepanjang hidupku. Mengapa jika kita mengharapkan agar waktu berjalan lambat, malah selalu terjadi sebaliknya. Aku benar-benar tidak bersemangat hari ini. Sepertinya hari ini, aku adalah manusia yang diselimuti ketakutan berlebih. Aku takut salah mengambil keputusan. Dan memang sudah jelas, aku menerima dan menolak Flury pun akan berbuntut pada satu kesalahan. Bagiku kedua pilihan ini tak ada yang patut dipilih. Kedua-duanya salah!
“Rhinooo…gimana?” tanya Flury yang tiba-tiba sudah ada dihadapanku.
“Flur, kita ke belakang perpus. Ngomonginnya disana,” kataku tegas.
Dengan tergesa, aku dan Flury pergi ke belakang perpustakaan yang merupakan sebuah lapangan kecil yang terurus dengan rapi. Sebelum sampai di tempat tujuan, Oh God, Venus ada di depan perpustakaan bersama Tania, teman satu kelasnya. Beberapa buku dipeluknya erat-erat. Aku harus megambil jalan lain untuk dapat menuju kesana, ke belakang perpustakaan. Dan akhirnya berhasil dengan sempurna.
“Sekarang mau Flury apa?” tanyaku sambil meredam kekasalan.
“Ih, masa Rhino gak ngerti-ngerti? Rhino harus terima Flury jadi pacar Rhino,” jawab Flury dengan nada manja dan kekanak-kanakan.
“Tapi Flury kan tahu kalo Rhino itu udah punya pacar. Ya Rhino gak bisa gitu aja nerima Flury jadi pacar Rhino,” tegasku.
“Ya udah, putusin aja si Venus!” kata Flury ketus.
“Ya enggak bisa semudah itu dong! Masa tanpa alesan yang jelas tiba-tiba Rhino putusin Venus dan lagipula Rhino sayang sama dia.”
“Jadi Rhino gak sayang sama Flury?” tanyanya.
“Rhino juga sayang sama Flury.”
“Kalo Rhino sayang sama Venus dan juga Flury, udah aja Rhino pacaran sama dua-duanya.”
Aduh, Flury benar-benar tidak mengerti apa itu cinta! Mungkin ia menganggap cinta itu adalah sesuatu yang sangat mudah untuk dipaksakan. Dan cinta itu…just for fun! Ia tak mengerti apapun. Ia benar-benar anak manja yang polos, riang, dan agak rese.
“Kalo…Rhino gak terima Flury gimana?” tanyaku pelan.
“Apa?!” Flury membelalakan matanya.
“Eh…ini baru misalnya lho…”
“Ngapain Flury hidup? Rhino gak mau kan lihat Flury bunuh diri?”
Aku terdiam sejenak.
“Ya udah…Rhino terima Flury jadi pacar Rhino…” dengan terpaksa aku mengeluarkan pernyataan ini.
BRUUUK!!!
Tiba-tiba telingaku menangkap suara beberapa buku yang terjatuh. Aku menyebar pandanganku ke segala arah. Dan setelah aku tahu buku siapa tersebut, akupun terkejut. hah? Itu buku-buku Venus dan pemiliknya pun ada disana. Tanpa sepengetahuanku dan Flury, ternyata Venus sudah ada di belakangku. Hanya saja Venus terhalang tembok laboratorium yang bersebelahan dengan perpustakaan.
Aku dan Venus saling bertatapan. Kami terdiam. Begitu pun dengan Flury. Aku melihat Flury menatap wajah Venus dengan pandangan aneh. Entah apa itu?
“No, Flury ke kantin dulu ah, laper!” tanpa rasa bersalah, Flury berlari kecil meninggalkan aku dan Venus. “Hei Venus, awas lho gangguin pacar Flury!” katanya lagi.
Kini hanya tinggal aku dan Venus di sana. Kami masih saling bertatapan dalam diam. Aku tahu apa yang sedang Venus rasakan sekarang. Sakit, pasti itu yang sedang dirasakannya, tidak mungkin tidak. Tapi aku terpaksa. Aku terjebak dalam situasi yang sangat buruk.
Tak berselang lama, Venus memutar badannya dan melangkahkan kakinya menjauhiku. Aku berusaha mengejar. Kuraih lengan kirinya. Namun tanpa banyak basa-basi, Venus menghentakkan tangannya dengan tujuan agar genggaman tanganku lepas dari lengannya.
“Venus, aku bisa jelasin ini semua…” kataku penuh kekhawatiran.
“Apa yang mau dijelasin? Udah jelas kok. Aku udah lihat sendiri.”
“Itu gak kayak yang kamu kira. Sama sekali enggak!” kataku lagi mencoba meyakinkan.
“Kalo semuanya gak kayak yang aku kira, ya udah apa penjelasan kamu?” Venus mulai marah.
“Gini, sebenernya aku ngerasa berdosa banget atas keputusan ini…”
“Ya jelas lah! Ini berarti kamu udah ngekhianatin aku,” potong Venus. “Dengan alasan apapun ini gak bisa diterima!” katanya lagi.
“Ada! Ada satu alesan yang patut kamu terima. Keputusan ini adalah keputusan yang aku ambil dengan sangat-sangat terpaksa. Mungkin kamu gak akan pernah percaya kalo aku ceritain yang sebenernya, kenapa aku mau terima Flury?”
“Ya udah, to the point aja, maksudnya apa?” tanya Venus masih marah.
“Sebenernya keputusanku nerima Flury jadi pacarku cuman sandiwara belaka. Aku belom sempet cerita sama kamu bahwa sebelum ini Flury udah nembak aku 2 kali. Dan ini penembakan yang ketiga kalinya,” aku mulai menguak semuanya. “Tapi…sesuatu yang istimewa dari penembakan kali ini adalah ancaman!”
Venus mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk. Pandangannya ia fokuskan ke dalam mataku. Garis dan lekukan di wajahnya jelas melukiskan keanehan, kebingungan, dan tanda tanya besar saat aku menyebutkan kata ‘ancaman’. Aku tak tahan bila harus mempertahankan wajah penasaran Venus waktu itu.
“Ancaman? Ancaman apa?” belum sempat aku berbicara, Venus sudah keburu menyerangku dengan pertanyaan.
“Kalo aku gak terima dia jadi pacarku, dia mau…bunuh diri!” kataku. Venus cukup terkejut mendengarnya. “Aku terpaksa ngambil keputusan ini buat nyelametin dia dari perbuatan nekatnya.”
“Bunuh diri?” tanya Venus seakan tak percaya. “Apa aku harus percaya sama omongan kamu?” tanyanya lagi.
“Tapi kenyataannya emang kayak gitu!” tegasku penuh keyakinan.
“Jadi sekarang gimana?”
“Uh…aku bingung!”
“Ya udah sekarang gini aja…” Venus menunda ucapannya sejenak. Dengan penuh pemikiran barulah ia berucap. “…putusin aku!”
Apa? Tak salah dengarkah aku? Venus memintaku agar aku memutuskan hubungannya denganku. Ia tak rela jika harus diduakan olehku. Apalagi orang aku pacari adalah Flury, seorang gadis manja yang tidak pernah bisa mandiri. Venus tak mau itu.
“Ven, aku gak mau putus…” ucapku memohon.
“Lalu?” tanya Venus.
“Aku janji hubunganku dengan Flury gak akan berlangsung lama. Cuman beberapa hari ini aja semua ini aku lakuin, setelah itu aku putusin dia!”
“Terus, kalo nanti dia nekat gimana?”
“Selama aku pacaran sama dia, aku akan cari caranya,” jawabku pelan.
“Oke, aku kasih kamu waktu tujuh hari aja buat jalan sama Flury, dan setelah itu kamu harus bener-bener putusin dia. Inget, hubungan kamu sama dia cuman sebatas sandiwara. Kalo kamu macem-macem dibelakangku, kita putus beneran. Dan satu hal lagi, kamu harus ngerahasiain ini semua dari siapapun,” ucap Venus menyetujui. Namun serentetan persyaratan pun mengalir bebas dari mulutnya.
***
Hari ini adalah hari keempat sejak aku menerima Flury jadi pacarku. Di hari ini pula sesuatu terjadi. Venus menemuiku di kelas saat jam istirahat. Ia membawa wajah marahnya sekaligus membawaku ke tempat yang agak sepi di sekolah.
“No, pokoknya kamu harus putusin Flury!” pinta Venus tiba-tiba.
“Hei kenapa? Bukannya perjanjian kita tujuh hari?” tanyaku heran.
“Aku malu! Temen-temen udah pada tahu semuanya. Si Flury sendiri yang bilang ke semua orang!” jelas Venus mengkhawatirkan.
“Aku janji besok aku putusin dia,” ucapku pelan. Aku meyakinkan Venus bahwa ucapanku benar adanya.
“Aku mau hari ini! Pokoknya hari ini, kalo enggak kita putus!” ucap Venus seraya meninggalkanku sendiri. Aku hanya bisa memandanginya dari belakang.
Oke…hari ini juga aku harus memenuhi desakan Venus…
***
Pelajaran hari ini telah usai. Aku pulang bersama pacar baruku, Flury. Ia terlihat lain hari ini. Dia nampak lebih cantik dari hari-hari kemarin. Dan keceriaan yang sangat luar biasa merangkul tubuhnya. Padahal beberpa menit yang akan datang, mungkin keceriaan itu akan hilang dalam sekejap saat ia mendengar pernyataanku.
Entah kenapa hari ini aku ingin terus dan terus memandanginya. Ia benar-benar cantik. Meskipun aku sudah berusaha megalihkan pandanganku darinya, namun tetap saja alat penglihatanku selalu tertuju kembali padanya. Sampai-sampai terbersit dalam benakku untuk membatalkan rencanaku. Melihat wajahnya, aku benar-benar tak tega.
Kami berhenti di depan jalan raya dan berdiri diatas trotoar untuk menunggu mobil angkutan kota yang datang. Aku tahu sekarang adalah saat yang tepat untuk menjalankan rencanaku terhadap Flury. Tapi ketakutan melandaku secara tiba-tiba. Aku bukan takut sulit berkata-kata, tapi aku takut melihat reaksi Flury saat aku mengeluarkan ucapanku. Sementara saat ini Flury belum juga mau melepaskan keceriaan itu dari wajahnya. Meskipun demikian, aku harus tetap menjalankan rencanaku. Aku menarik nafasku dalam-dalam dan mulai membuka mulutku untuk berbicara.
“Flur…”
“Eh No, itu di seberang ada loper koran, Flury mau beli majalah dulu ah!” seru Flury memotong ucapanku.
Uh gagal! Tapi belum untuk yang kedua kalinya. Masih ada waktu, semoga.
Aku hanya bisa memandangi Flury yang antusias menyeberangi jalan untuk membeli majalah. Flury tampak begitu riang meskipun beberapa saat lagi aku akan bertindak sesuatu yang tidak menyenangkan terhadap dirinya. Namun tiba-tiba sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Saat itu Flury kurang berkonsentrasi pada jalanan. Saat itu tiba-tiba sebuah truk menghempaskan tubuhnya dengan sangat keras, sehingga tubuh Flury terpental beberapa meter ke depan dari tempat asalnya. Aku kaget dan panik. Dengan cepat aku mendekati tubuh Flury yang tergeletak lemah di tengah jalan. Aku tak peduli dengan banyaknya mobil-mobil yangberseliweran di sekitarku. Aku hanya mengkhawatirkan Flury. Dia adik kecilku.
Tak pernah aku duga sebelumnya, sungai kecil telah mengalir deras di pipiku. Aku tak kuasa melihat wajah Flury yang semenit lalu memancarkan keceriaan, kini harus terdiam kaku dan berlumuran darah di kepala dan beberapa bagian tubuhnya yang lain. Aku benar-benar tak kuasa.
“FLUUURY!!!”
***
Aku duduk dan termenung di kursi Rumah Sakit. Pikiranku menerawang jauh. Saat ini aku hanya bisa menunggu kehadirang Venus yang akan berjanji akan datang secepatnya. Dan akhirnya dia datang setengah jam kemudian sejak aku hubungi ponselnya.
“No, kamu ngapain nelpon dan nyuruh aku dateng ke sini? Siapa yang sakit?” tanya Venus sesaat setelah ia ada di hadapanku. Lalu ia pun duduk di sampingku.
“Flury…”
“Flury sakit?”
“Enggak…dia udah…pergi…” jawabku lemah. Venus terkejut mendengarnya. “Tadi siang dia ketabrak truk…”
Venus tak berkata-kata. Meskipun Venus membenci sikap Flury, namun sekarang aku tak melihat itu semua. Aku menangkap ada rasa duka di hatinya. Sama seperti aku, tak bisa menyembunyikan kesedihanku.
Kini Flury telah tiada. Tak ada lagi yang merintangi cintaku dengan Venus. Meskipun aku tak pernah tahu, atas kematian Flury, aku harus bersedih atau berbahagia. Namun satu hal yang pasti, dengan atau tanpa adanya Flury, cintaku dan Venus akan terus kupertahankan.
***
12 April 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please masukkin komentar lo buat posting ini!