Kamar Kost Setan
Satu sms masuk ke handphone-ku saat aku sedang membaca komik yang baru aku beli kemarin sore. Setelah aku cek, ternyata itu sms dari Ardi, sahabatku sejak SMA. Beginilah sms-nya:
"Jo, besok gue mau kemping ke hutan gitu sama temen-temen kuliah gue. Lo nginepin kost-an gue ya!"
Sesaat setelah aku membaca sms tersebut, aku sangat memaklumi kenapa Ardi memintaku untuk menempati sementara kamar kost-nya. Sebagai anak kuliahan, ia memang agak berlebihan membawa barang-barang yang bernilai cukup mahal ke dalam kamar kost-nya, seperti LED TV, laptop, DVD player, Playstation dan beberapa benda mahal lainnya. Ia khawatir barang-barang berharga miliknya menjadi korban "kenakalan" penghuni kost lainnya dan raib tanpa ada yang mau mengaku. Kunci kamar tidak bisa sepenuhnya mengatasi kekhawatiran tersebut.
Aku mulai mengetik sms sebagai balasannya.
"Oke men!"
Dan setengah menit setelah sms-ku terkirim, handphone-ku kembali berbunyi.
"Gue berangkat hari ini, pagi. Kayaknya kita gak sempet bisa ketemuan dulu. Siangan lo ambil aja kunci kamar gue di ibu kost. Gue kempingnya cuma sehari aja kok."
Sore harinya, aku berkemas membawa ransel kecilku yang hanya berisi modul kuliahku dan satu pakaian dalam, selebihnya Ardi sudah membebaskan fasilitas yang ada dikamarnya untuk semua keperluanku.
Kunci kamar kost Ardi sudah ada di tanganku. Aku lalu bergegas menuju kamar Ardi dan membuka pintunya. Namun sesuatu yang beda yang aku rasakan saat pertama kali membuka pintu tersebut adalah dingin, sangat dingin, lebih dingin dari biasanya. Aku langsung menyambar remote AC, namun sekejap kemudian aku tersadar bahwa ternyata AC-nya mati. Kebingungan melandaku, namun aku tak mau terlalu ambil pusing, kelelahan membuatku ingin melupakan kejadian itu sejenak. Tak lama aku pun tertidur.
Malam itu aku membuka modul untuk bahan kuliah besok. Sebungkus snack dan sekaleng softdrink ikut menemaniku saat itu. Berpuluh-puluh halaman aku pelajari dengan seksama. Entah sudah berapa lama aku melakukan itu hingga tanpa terasa kelopak mataku sudah mulai memberat.
Aku mematikan lampu dan bergegas untuk mulai tidur. Namun baru beberapa detik aku menempelkan kepalaku ke bantal, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan pintu. Hm, meskipun agak malas, kubukakan juga pintu tersebut tanpa menyalakan kembali lampu. Cahaya redup lampu luar masih bisa membantuku berjalan tanpa menabrak benda.
Setelah pintu terbuka, anehnya aku tak melihat siapa-siapa di depan pintu. Aku mengeluarkan sedikit kepalaku dan menengok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan siapa yang sudah mengetuk pintu tadi. Tetap, aku tak mendapati siapapun baik dari arah kanan ataupun kiri.
Aku kembali menutup pintu dan menguncinya. Dan ketika aku membalikkan badan betapa kagetnya aku, secara samar aku melihat seseorang duduk di pinggir tempat tidur. Ia seperti seorang laki-laki dan tertunduk, lemah.
Jantungku berdetak keras. Keringat dingin mulai membasahi. Antara perbatasan penasaran dan ketakutan, aku berjalan cepat ke arah stop kontak dan langsung menyalakan lampu. Dan ketika lampu menyala, sesosok mahluk yang aku lihat tadi pun menghilang entah kemana.
Aku menenangkan diriku. Perlahan aku mulai mencoba mengatur tarikan nafasku yang sempat kacau. Mulutku mulai bersenandung pelan menyanyikan lagu apapun yang terlintas di pikiranku, hanya untuk menghibur hatiku, semoga.
Dengan menyipitkan mata sedikit, aku menyebar pandangan ke segala penjuru kamar. Tanganku yang gemetar mulai menggapai tombol lampu dan sesaat setelah padam akupun berharap dapat melanjutkan tidurku kembali.
Tak berapa lama keanehan itu kembali muncul. Aku mendengar suara langkah kaki yang berasal dari pintu menuju ke arahku. Suaranya pelan namun benar-benar terdengar jelas. Karena tak kuasa untuk melihatnya, aku langsung menarik selimutku dan kututupi seluruh tubuhku dari kaki hingga kepala. Ketakutanku kali ini lebih besar dari yang pertama. Aku meraba-raba tempat tidur untuk mencari handphone-ku, yang seingatku tadi aku simpan di sebelah bantalku. Dan, untungnya, aku dapat menemukannya.
Segera aku mengetik sebuah pesan singkat ke nomor Ardi.
"Di, kalo gak sama lo, kapan2 gue gak bakal mau lagi nginep di sini ah. Serem!" Itu sms-ku.
Pending.
Damn! Geramku dalam hati.
Aku mencoba menelepon langsung, namun sayang sepertinya handphone Ardi tidak aktif. Aku tak tahu harus berbuat apa-apa lagi ketika tiba-tiba terdengar suara keyboard laptop yang sedang disentuh oleh jari-jari.
Aku menurunkan selimutku hingga batas hidung. Lalu mengintip ke arah meja tempat laptop Ardi diletakkan. Dalam kegelapan, aku melihat sesosok hantu itu tengah terduduk menghadap laptop dengan jemarinya yang bermain dengan lincah di hamparan keyboard-nya. Ia membelakangiku. Namun tiba-tiba, secara perlahan, ia menengokkan kepalanya ke arahku dan...wajahnya rusak!
ARRRRRGH...!!!
Slep...!!! Dengan cepat aku menarik kembali selimutku. Keringat dinginku sudah membanjiri tubuh. Jantungku berdebar dengan sangat keras. Meskipun tidak banyak gerakan yang aku lakukan, namun aku merasa seperti habis berolahraga keras. Nafasku naik turun. Aku kelelahan. Hingga tanpa aku sadari, aku tertidur, dalam ketakutan.
Pukul 10 pagi aku terbangun. Itupun karena gedoran pintu yang aku dengar dari luar. Dengan langkah gontai aku berjalan ke arah pintu. Setelah aku buka ternyata itu tiga orang teman kuliah Ardi yang memang sudah aku kenal.
"Hai Jo, lo nginep disini?" tanya Sandi. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. "Terus Ardi-nya mana?"
Aku mengeryitkan keningku.
"Ardi? Lho bukannya Ardi ikut kemping sama kalian?" aku malah balik bertanya. Karena aku pikir Ardi ada di belakang bersama mereka.
"Iya, rencananya sih gitu. Kemaren pagi kita janjian ketemuan di kampus, tapi Ardi gak muncul-muncul. Terus kita telfon, gak nyambung-nyambung, nah dari situ kita langsung dateng kesini dan tanya sama ibu kost katanya dia udah berangkat dari pagi. Nah, karena Ardi gak ada dan gak juga gak bisa dihubungi, ya terpaksa kita kemping tanpa Ardi!" jelas Sandi.
Aku makin bingung.
"Lalu selama ini Ardi kemana dong?" tanyaku.
Sesaat setelah mengeluarkan pertanyaan, entah kenapa aku langsung teringat pada sesosok hantu yang semalam menyentuh laptop Ardi. Dan sampai sekarang laptop itu masih menyala.
"Coba kalian kemari! Semalem gue didatengin mahluk aneh gitu di kamar ini!" ajakku kepada ketiga teman Ardi. Aku mengajak mereka ke meja tempat laptop yang masih menyala itu berada.
Di sheet Microsoft Word sudah terpampang beberapa baris kalimat:
"Jo, ini gue Ardi. Gue minta maaf karena gak bisa ketemu lo lagi. Gue juga minta maaf karena udah ngelanggar janji untuk pergi kemping. Tadi pagi di perjalanan menuju kampus, motor gue tergelincir dan masuk jurang. Satu permintaan terakhir gue, tolong temuin mayat gue disana!"
***
Bogor, 03 Desember 2011
19.00 WIB
I-dy-OT BLOG
Senin, Desember 26, 2011
Jumat, September 02, 2011
2 AKUN FACEBOOK
dyholic_126@yahoo.co.id itu adalah jalan yg paling akurat untuk menemukan akun facebook gw (herdy dy). Tapi tahukah kalian apa yg terjadi jika di kolom search di ketik email 'herdyholic@yahoo.co.id'? Yg terjadi adalah penemuan akun facebook dengan nama herdy holic. Ya, herdy holic. Itu adalah akun facebook milik gw yg kedua.
Kenapa punya 2 akun facebook?
1. Akun herdy dy adalah akun facebook yg gw buat real untuk menyambung tali silaturahmi sama temen2 gw yg ada dimana2. Temen SD, SMP, SMA, atau orang2 yang pernah gw kenal di kehidupan gw. Akun ini pengen gw buat untuk temen2 yg bener2 gw kenal.
2. Akun herdy holic adalah akun yg gw buat untuk mempublikasikan hasil karya gw yg berupa tulisan gw yang berupa cerpen. Gw pengen tahu sejauh mana cerpen gw dapet respon, entah itu positif atau negatif. Gw pengen tahun dari sisi orang2 yg gak kenal sama gw. Gw berpikir mungkin 'keenggakkenalan' mereka ama gw bakal bisa mengundang komentar yg lebih jujur aja tentang apa yg gw tulis. Bagus bilang bagus & jelek ya bilang jelek!
Nah, akhirnya mulai beberapa minggu yang lalu akhirnya gw mulai nge-post cerpen gw di notes, dan responnya adalah..GILAAAAA..!!!
Gw gak nyangka responnya bakal segokil ini. Banyak yg minta di tag sana-sini. Ya ya ya, gw seneng banget sama respon mereka. Secara gak langsung itu adalah salah satu motivator gw dalam menulis. Thanx friends.. :)
Kenapa punya 2 akun facebook?
1. Akun herdy dy adalah akun facebook yg gw buat real untuk menyambung tali silaturahmi sama temen2 gw yg ada dimana2. Temen SD, SMP, SMA, atau orang2 yang pernah gw kenal di kehidupan gw. Akun ini pengen gw buat untuk temen2 yg bener2 gw kenal.
2. Akun herdy holic adalah akun yg gw buat untuk mempublikasikan hasil karya gw yg berupa tulisan gw yang berupa cerpen. Gw pengen tahu sejauh mana cerpen gw dapet respon, entah itu positif atau negatif. Gw pengen tahun dari sisi orang2 yg gak kenal sama gw. Gw berpikir mungkin 'keenggakkenalan' mereka ama gw bakal bisa mengundang komentar yg lebih jujur aja tentang apa yg gw tulis. Bagus bilang bagus & jelek ya bilang jelek!
Nah, akhirnya mulai beberapa minggu yang lalu akhirnya gw mulai nge-post cerpen gw di notes, dan responnya adalah..GILAAAAA..!!!
Gw gak nyangka responnya bakal segokil ini. Banyak yg minta di tag sana-sini. Ya ya ya, gw seneng banget sama respon mereka. Secara gak langsung itu adalah salah satu motivator gw dalam menulis. Thanx friends.. :)
Kamis, April 28, 2011
ELA…ELA…E…E…UNDER MY UMBRELLA…ELA…ELA…E…E…
Dengan segelas susu dan keripik singkong (gak nyambung ya paduannya?!), gue mulai nulis semua ini…
20 April 2009
Rencananya bakal ada 5 anak SMK yang bakal PKL di kantor gue selama sebulan. 2 cewek, 3 cowok. Gue yang denger kabar itu langsung seneng aja dengernya. Beberapa alesan gue seneng:
1. Lumayan ada yang bisa disuruh-suruh fotocopy, register surat, beresin berkas, bersihin WC, ato mijitin gue (Ups, dua yang terakhir nggak ding!)
2. Gue denger ada kata “cewek”! CEWEK! Bodo amat sama anak cowoknya, hehehe…
3. Yeah, gue jadi ada temen yang seumuran!
Tapi pas pelaksanaannya, lho kok yang dateng gak 5 orang? Kok cuman 3 orang seh? Itupun cowok semua lagi, yah kecewa
21 April 2009
Hari kedua, tetep, gue kira bakal ada tambahan anak cewek PKL, ternyata masih 3 anak cowok itu. Nothing special!
22 April 2009
Gue agak kesiangan masuk kantor dan apa yang terjadi? Anak SMK-nya nambah jadi 4 orang! Ada tambahan 1 cewek. Namanya Ela. Nama panjangnya Ela…ela…e…e…under my umbrella…ela…ela…e…e… (gak ding boonk!). Dia cewek, berjilbab, cantik. Dari pertama gue kenalan, gue gak pernah punya perasaan aneh-aneh atau apa. Tapi sesuatu terjadi saat jam makan siang tiba. Temennya si Ela, Agus namanya, tiba-tiba nanya gini ke gue:
Agus: Pak! (Helooooow…gue dipanggil Pak?! Kenapa harus Pak? Perasaan gue masih semuda Derby Romero kok?!). Kata Ela, bapak udah nikah belom?
Ela: Boong Pak! (ternyata si Ela nya juga ada di situ)
Gue yang super imut: Hehehe…(cuman jawab dengan senyuman)
Gak lama, si Agus (AGUS! AGUS! Kayak iklan apa ya?!) ini ngedeketin gue sambil bawa hapenya si Ela. Terus dia bilang:
Agus: Pak, boleh minta nomor hapenya gak?!
Kalo dipikir pake logika dan akal sehat serta otak yang waras lalu hati yang sewajarnya, gak mungkin donk Agus yang nanya nomor hape gue secara dia pegang hapenya Ela. Lagian kalo si Agus yang nanya nomor hape gue itu berarti dia…??? Hehehe…just kidding!!! Tanpa banyak komentar gue kasih aja nomor gue. Lagian gue pikir, mereka kan gak sehari dua hari PKL di kantor gue. Sebulan lebih cing! Jadi wajar lah gue kasih nomor gue, biar kita gampang komunikasian selama sebulan itu.
Beberapa saat dari itu Ela keluar dari kantor bentar, kayaknya sih ke konter hape sebelah warungnya si Mas (yang ada di sebelah warteg, wartegnya itu ada di samping Gang Balai Desa, nah Gang Balai Desa itu ada di sebelah kantor gue. Makanya di kasih nama “Gang Balai Desa”. Penting gak seh ngebahas ini?! Hehehe…). Kenapa gue yakin dia abis dari konter hape? Coz sekembalinya dia dari konter hape, muka dia langsung berubah jadi banyak keypad-nya, hehehe gak ding! Gue yakin karena pas dia balik lagi ke kantor gue, dia langsung miscall ke hape gue. Sumpah, gak ada perasaan yang aneh2 saat itu. Gue pikir itu reaksi wajar kalo seseorang dapet nomor hape dari orang laen. Normal! Tapi gak lama dari itu ada sms dari…
Ela: Hye bAng..? (ketikan tangan 4l@y)
Gile ini orang ngetest-nya gak cukup pake miscall. Pake sms segala lagi, pikir gue. No replay dari gue.
Ela: bAN9 Koq nda dii bLz..?? kNpa gto..??
Oh, ternyata dia nunggu replay dari gue toh??? Yaudah gue langsung bales.
Gue yang super imut: Yah, qrain cm ngetes. Trnyta nunggu balzan’y?! Trus klo dah d blz mo ap?
Ela: iia gagg mW ap” bng..!! Kok mLahan nNya kyA 9To.. gagg sUKa iia bAN9, dii mZ m aqU.! iiaUdd, maP’z Law gN9gu. TriMz.
Gue yang super imut: Kt spa gnggu? Ga kok, sm se-x ga ganggu..
Ela: Bang Udd pUny isTri iia.? Kok mCii mUDa cii bAN9..
Oh my GOOOOOD!!!
Gue yang super imut: Blm x. Lu2s SMA aj br 3th. Mk’y msh muda, he3
Beberapa detik setelah gue replay gitu, gue mikir 3 tahun??? Emang 3 tahun ya??? Perasaan 4 tahun deh??? Bodo ah, yang penting masih muda!
Ela: Ouh,, pCar’y nAK mNa bN9..?? jgN bLang dde, Lund pNy pCarr…
SNAP!!! SNAP!!! SNAP!!! Pertanyaan apalagi-kah ini???
Gue yang super imut: Klo blm pny knp, klo dah pny knp?
Gak tahu kenapa gue kepikiran buat replay kayak gitu?!
Ela: iia gagg nPah” bng.. oRN9 Nnya nTu hRuz’y dii jWb.. bukN bLik Tnya, gagg bAe Tw..
Gue yang super imut: Blm. Lg cr, he3
Ela: Adduh, bnEr nii bng..? jgN bqiN 0rN9 BrhaRep.. hehe...
Haduh, udah mulai aneh nich smsannya. Dah dulu ah, sms pun gak gue replay, meski dia berkali-kali sms minta replay.
Malemnya, gue lagi nonton sama my mom di ruang tengah, sedangka hape gue ada di kamar. Emang sih gak gue silent, tapi emang dasar gak tahu volume tv-nya yang kekencengan ato kuping gue yang bolot, eh pas gue masuk kamar en ngecek hape gue, gue kaget ada 5 misscall dari nomor yang sama. Dan setelah gue lihat, nomor itu milik…ELA!!!
Waduh!!!
Gue langsung ngasih tahu sahabat2 gue tentang hal ini. Gue pengen tahu gimana reaksi mereka tentang hal ini. Syukur2 mereka bisa ngasih saran, gimana cara ngehadepin situasi kayak gini. Terlebih gue bakal berinteraksi dengan “my blak-blakan admirer” sebulan penuh!!! Jawaban mereka beda2. Kurang lebihnya kayak gini:
Enok: Cie, yang lagi di taksir cewek!!!
Gue: Tapi kan dia agresif Nok! Tar di jalan gue diperkosa lagi, wakakakak!!!
Nunuh: Asik tuh! Udah aja lo kasih harepan ke dia gitu. Meskipun sebenernya.lo gak suka sama dia.
Gue: Gak ah! Gue gak mau jahat kayak gitu. Coz gue pernah ngalamin dikasih harepan sama cewek, dan rasanya itu sakit banget. Mending2 gue langsung ditolak mentah2. (Waduh curhat banget neh??? Hehehe…)
Uh, komentarnya gak ada yang bener. Nah, kali aja si Afgan si Bukan Mahluk Biasa (judul hits-nya yang baru) yang menyebalkan dan berkacamata ngasih komentar yang agak “bener”. Pas gue kasih tahu bahwa inisialnya “E”, dia langsung komentar.
Taufik: Siapa namanya? Etty?
Gue: Bukan, Edi Marjuki! Puas!
OMIGOS, apa pas gue nanya gue harus nangis dulu supaya mereka ngasih jawabnnya agak lebih seriusan dikit?! Hm, tapi gapapa. Gue seneng kok. Kalian selalu bisa bikin gue dari jadi .
20 April 2009
Rencananya bakal ada 5 anak SMK yang bakal PKL di kantor gue selama sebulan. 2 cewek, 3 cowok. Gue yang denger kabar itu langsung seneng aja dengernya. Beberapa alesan gue seneng:
1. Lumayan ada yang bisa disuruh-suruh fotocopy, register surat, beresin berkas, bersihin WC, ato mijitin gue (Ups, dua yang terakhir nggak ding!)
2. Gue denger ada kata “cewek”! CEWEK! Bodo amat sama anak cowoknya, hehehe…
3. Yeah, gue jadi ada temen yang seumuran!
Tapi pas pelaksanaannya, lho kok yang dateng gak 5 orang? Kok cuman 3 orang seh? Itupun cowok semua lagi, yah kecewa
21 April 2009
Hari kedua, tetep, gue kira bakal ada tambahan anak cewek PKL, ternyata masih 3 anak cowok itu. Nothing special!
22 April 2009
Gue agak kesiangan masuk kantor dan apa yang terjadi? Anak SMK-nya nambah jadi 4 orang! Ada tambahan 1 cewek. Namanya Ela. Nama panjangnya Ela…ela…e…e…under my umbrella…ela…ela…e…e… (gak ding boonk!). Dia cewek, berjilbab, cantik. Dari pertama gue kenalan, gue gak pernah punya perasaan aneh-aneh atau apa. Tapi sesuatu terjadi saat jam makan siang tiba. Temennya si Ela, Agus namanya, tiba-tiba nanya gini ke gue:
Agus: Pak! (Helooooow…gue dipanggil Pak?! Kenapa harus Pak? Perasaan gue masih semuda Derby Romero kok?!). Kata Ela, bapak udah nikah belom?
Ela: Boong Pak! (ternyata si Ela nya juga ada di situ)
Gue yang super imut: Hehehe…(cuman jawab dengan senyuman)
Gak lama, si Agus (AGUS! AGUS! Kayak iklan apa ya?!) ini ngedeketin gue sambil bawa hapenya si Ela. Terus dia bilang:
Agus: Pak, boleh minta nomor hapenya gak?!
Kalo dipikir pake logika dan akal sehat serta otak yang waras lalu hati yang sewajarnya, gak mungkin donk Agus yang nanya nomor hape gue secara dia pegang hapenya Ela. Lagian kalo si Agus yang nanya nomor hape gue itu berarti dia…??? Hehehe…just kidding!!! Tanpa banyak komentar gue kasih aja nomor gue. Lagian gue pikir, mereka kan gak sehari dua hari PKL di kantor gue. Sebulan lebih cing! Jadi wajar lah gue kasih nomor gue, biar kita gampang komunikasian selama sebulan itu.
Beberapa saat dari itu Ela keluar dari kantor bentar, kayaknya sih ke konter hape sebelah warungnya si Mas (yang ada di sebelah warteg, wartegnya itu ada di samping Gang Balai Desa, nah Gang Balai Desa itu ada di sebelah kantor gue. Makanya di kasih nama “Gang Balai Desa”. Penting gak seh ngebahas ini?! Hehehe…). Kenapa gue yakin dia abis dari konter hape? Coz sekembalinya dia dari konter hape, muka dia langsung berubah jadi banyak keypad-nya, hehehe gak ding! Gue yakin karena pas dia balik lagi ke kantor gue, dia langsung miscall ke hape gue. Sumpah, gak ada perasaan yang aneh2 saat itu. Gue pikir itu reaksi wajar kalo seseorang dapet nomor hape dari orang laen. Normal! Tapi gak lama dari itu ada sms dari…
Ela: Hye bAng..? (ketikan tangan 4l@y)
Gile ini orang ngetest-nya gak cukup pake miscall. Pake sms segala lagi, pikir gue. No replay dari gue.
Ela: bAN9 Koq nda dii bLz..?? kNpa gto..??
Oh, ternyata dia nunggu replay dari gue toh??? Yaudah gue langsung bales.
Gue yang super imut: Yah, qrain cm ngetes. Trnyta nunggu balzan’y?! Trus klo dah d blz mo ap?
Ela: iia gagg mW ap” bng..!! Kok mLahan nNya kyA 9To.. gagg sUKa iia bAN9, dii mZ m aqU.! iiaUdd, maP’z Law gN9gu. TriMz.
Gue yang super imut: Kt spa gnggu? Ga kok, sm se-x ga ganggu..
Ela: Bang Udd pUny isTri iia.? Kok mCii mUDa cii bAN9..
Oh my GOOOOOD!!!
Gue yang super imut: Blm x. Lu2s SMA aj br 3th. Mk’y msh muda, he3
Beberapa detik setelah gue replay gitu, gue mikir 3 tahun??? Emang 3 tahun ya??? Perasaan 4 tahun deh??? Bodo ah, yang penting masih muda!
Ela: Ouh,, pCar’y nAK mNa bN9..?? jgN bLang dde, Lund pNy pCarr…
SNAP!!! SNAP!!! SNAP!!! Pertanyaan apalagi-kah ini???
Gue yang super imut: Klo blm pny knp, klo dah pny knp?
Gak tahu kenapa gue kepikiran buat replay kayak gitu?!
Ela: iia gagg nPah” bng.. oRN9 Nnya nTu hRuz’y dii jWb.. bukN bLik Tnya, gagg bAe Tw..
Gue yang super imut: Blm. Lg cr, he3
Ela: Adduh, bnEr nii bng..? jgN bqiN 0rN9 BrhaRep.. hehe...
Haduh, udah mulai aneh nich smsannya. Dah dulu ah, sms pun gak gue replay, meski dia berkali-kali sms minta replay.
Malemnya, gue lagi nonton sama my mom di ruang tengah, sedangka hape gue ada di kamar. Emang sih gak gue silent, tapi emang dasar gak tahu volume tv-nya yang kekencengan ato kuping gue yang bolot, eh pas gue masuk kamar en ngecek hape gue, gue kaget ada 5 misscall dari nomor yang sama. Dan setelah gue lihat, nomor itu milik…ELA!!!
Waduh!!!
Gue langsung ngasih tahu sahabat2 gue tentang hal ini. Gue pengen tahu gimana reaksi mereka tentang hal ini. Syukur2 mereka bisa ngasih saran, gimana cara ngehadepin situasi kayak gini. Terlebih gue bakal berinteraksi dengan “my blak-blakan admirer” sebulan penuh!!! Jawaban mereka beda2. Kurang lebihnya kayak gini:
Enok: Cie, yang lagi di taksir cewek!!!
Gue: Tapi kan dia agresif Nok! Tar di jalan gue diperkosa lagi, wakakakak!!!
Nunuh: Asik tuh! Udah aja lo kasih harepan ke dia gitu. Meskipun sebenernya.lo gak suka sama dia.
Gue: Gak ah! Gue gak mau jahat kayak gitu. Coz gue pernah ngalamin dikasih harepan sama cewek, dan rasanya itu sakit banget. Mending2 gue langsung ditolak mentah2. (Waduh curhat banget neh??? Hehehe…)
Uh, komentarnya gak ada yang bener. Nah, kali aja si Afgan si Bukan Mahluk Biasa (judul hits-nya yang baru) yang menyebalkan dan berkacamata ngasih komentar yang agak “bener”. Pas gue kasih tahu bahwa inisialnya “E”, dia langsung komentar.
Taufik: Siapa namanya? Etty?
Gue: Bukan, Edi Marjuki! Puas!
OMIGOS, apa pas gue nanya gue harus nangis dulu supaya mereka ngasih jawabnnya agak lebih seriusan dikit?! Hm, tapi gapapa. Gue seneng kok. Kalian selalu bisa bikin gue dari jadi .
INCINDENT WANTEX
Minggu, 26 April 2009
Sehari sebelomnya gue, maen sama Nunuh. Nunuh nunjukin ke gue toko yang biasa ngejual peralatan jahit menjahit. Saat itu gue bilang ke Nunuh kalo gue mo beli wantex. Coz gue punya kemeja pengasih…(Siapa ya? Lupa)…pokonya gue punya kemeja, tapi warnanya PINK?! Inget lho…PINK!!! Ceritanya gue pengen ngerubah kemeja pink itu jadi biru. Di tengah transaksi gue bingung, ternyata ternyata pilihan warnanya banyak banget, bahkan cuman untuk warna biru doank pun ada beberapa pilihan.
Gue: (Sambil nunjuk warna biru yang bener2 biru) Ini kali ya Nuh birunya yang bagus.
Nunuh: Dy, kalo mo ngewarnain baju, lo harus pake warna yang sedikit lebih tua dari yang lo pengen. Soalnya kadang kalo kita pake warna yang sebetulnya, ntar warnanya malah jadi kelihatan muda.
Karena gue belom pernah punya pengalaman sama sekali, gue cuman manggut2 aja ngedengerin kata2 Nunuh. Yah, maybe Nunuh udah lebih pengalaman dari gue. Kali dia di pesantren punya usaha sampingan ngewarnain baju2 kiai-nya. Maybe yah??!! Gak penting!
Gue: Oh gitu! Berarti yang ini donk!
Gue nunjuk warna biru yang jauh lebih gelap. Gue nunjuk warna “BLUE OCEAN”! Okeh, gak ada protes lagi dari Nunuh, akhirnya gue beli wantex dengan warna blue ocean.
Besoknya, gue coba tuh wantex. Dengan sedikit baca petunjuk2 yang ada di bungkusnya, akhirnya gue masukin kemeja gue ke wadah panci berisi air panas yang udah ada wantexnya. Bener, warnanya emang gelap. Jadi birunya gak kelihatan. Pas gue lagi ngaduk2 adonan kemeja yang udah pasti gak bakal enak kalo di makan, bokap gue ngedeketin gue sambil bawa sesuatu di tangannya. Tali sepatu warna putih. Kayaknya sih buat sepatu van topel itemnya. Coz bokap selalu lupa mo beli tali sepatu baru buat ganti tali sepatunya yang udah butut itu.
Bokap: Lagi nge-wantex bukan? Warnanya gelap yah?
Gue: Iya, tapi…hm…(Kalimat gue kepotong sama bokap gue)
Bokap: Nih, sekalian dah masukin tali sepatu! (Tanpa kompromi, bokap gue langsung masukin tali sepatunya)
Setelah…berjam-jam…berhari-hari…berminggu-minggu (Lebay!), akhirnya selesai juga proses pewarnaannya. Tapi setelah adonan gue angkat, gue bengong…bengong…bengong…sebengong-bengongnya…
KOK???
WARNANYA???
UNGUUUUUUUUUUUUUUU!!!!
Sumpah, warna ungu-nya tuh bener-bener ungu!
UNGU JANDA!!!
WAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!
Gue gak mikir kemeja gue. Gue gak mikir apa-apa lagi selain, tali sepatu bokap gue! Hati gue hampa, hati gue kosong! Masa sepatu van topel item harus di kasih tali sepatu warna ungu??? Masa bokap gue harus bersaing sama janda tetangga sebelah???
Pernahkah kau merasa, hatimu hampa? Pernahkah kau merasa, hatimu kosong? Kalo ungu yang ini seh gapapa. Tapi ini ungu yang bikin hati gue hampa sekaligus kosong adalah ungu yang berasal dari sebungkus wantex seharga dua rebu perak?! Walah! Gue bingung, mo marah, marah sama sapa? Mo nyalahin, nyalahin siapa? Nunuh? Gue? Bokap? Hehehe…
Asal tahu aja, sampe cerita ini gue tulis, bokap gue belom tahu tuh kalo tali sepatunya udah berubah warna. Oke, maybe bokap tahu udah berubah warna, tapi kan bokap belom tahu berubahnya jadi warna apa??? Hehehe…
Sehari sebelomnya gue, maen sama Nunuh. Nunuh nunjukin ke gue toko yang biasa ngejual peralatan jahit menjahit. Saat itu gue bilang ke Nunuh kalo gue mo beli wantex. Coz gue punya kemeja pengasih…(Siapa ya? Lupa)…pokonya gue punya kemeja, tapi warnanya PINK?! Inget lho…PINK!!! Ceritanya gue pengen ngerubah kemeja pink itu jadi biru. Di tengah transaksi gue bingung, ternyata ternyata pilihan warnanya banyak banget, bahkan cuman untuk warna biru doank pun ada beberapa pilihan.
Gue: (Sambil nunjuk warna biru yang bener2 biru) Ini kali ya Nuh birunya yang bagus.
Nunuh: Dy, kalo mo ngewarnain baju, lo harus pake warna yang sedikit lebih tua dari yang lo pengen. Soalnya kadang kalo kita pake warna yang sebetulnya, ntar warnanya malah jadi kelihatan muda.
Karena gue belom pernah punya pengalaman sama sekali, gue cuman manggut2 aja ngedengerin kata2 Nunuh. Yah, maybe Nunuh udah lebih pengalaman dari gue. Kali dia di pesantren punya usaha sampingan ngewarnain baju2 kiai-nya. Maybe yah??!! Gak penting!
Gue: Oh gitu! Berarti yang ini donk!
Gue nunjuk warna biru yang jauh lebih gelap. Gue nunjuk warna “BLUE OCEAN”! Okeh, gak ada protes lagi dari Nunuh, akhirnya gue beli wantex dengan warna blue ocean.
Besoknya, gue coba tuh wantex. Dengan sedikit baca petunjuk2 yang ada di bungkusnya, akhirnya gue masukin kemeja gue ke wadah panci berisi air panas yang udah ada wantexnya. Bener, warnanya emang gelap. Jadi birunya gak kelihatan. Pas gue lagi ngaduk2 adonan kemeja yang udah pasti gak bakal enak kalo di makan, bokap gue ngedeketin gue sambil bawa sesuatu di tangannya. Tali sepatu warna putih. Kayaknya sih buat sepatu van topel itemnya. Coz bokap selalu lupa mo beli tali sepatu baru buat ganti tali sepatunya yang udah butut itu.
Bokap: Lagi nge-wantex bukan? Warnanya gelap yah?
Gue: Iya, tapi…hm…(Kalimat gue kepotong sama bokap gue)
Bokap: Nih, sekalian dah masukin tali sepatu! (Tanpa kompromi, bokap gue langsung masukin tali sepatunya)
Setelah…berjam-jam…berhari-hari…berminggu-minggu (Lebay!), akhirnya selesai juga proses pewarnaannya. Tapi setelah adonan gue angkat, gue bengong…bengong…bengong…sebengong-bengongnya…
KOK???
WARNANYA???
UNGUUUUUUUUUUUUUUU!!!!
Sumpah, warna ungu-nya tuh bener-bener ungu!
UNGU JANDA!!!
WAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!
Gue gak mikir kemeja gue. Gue gak mikir apa-apa lagi selain, tali sepatu bokap gue! Hati gue hampa, hati gue kosong! Masa sepatu van topel item harus di kasih tali sepatu warna ungu??? Masa bokap gue harus bersaing sama janda tetangga sebelah???
Pernahkah kau merasa, hatimu hampa? Pernahkah kau merasa, hatimu kosong? Kalo ungu yang ini seh gapapa. Tapi ini ungu yang bikin hati gue hampa sekaligus kosong adalah ungu yang berasal dari sebungkus wantex seharga dua rebu perak?! Walah! Gue bingung, mo marah, marah sama sapa? Mo nyalahin, nyalahin siapa? Nunuh? Gue? Bokap? Hehehe…
Asal tahu aja, sampe cerita ini gue tulis, bokap gue belom tahu tuh kalo tali sepatunya udah berubah warna. Oke, maybe bokap tahu udah berubah warna, tapi kan bokap belom tahu berubahnya jadi warna apa??? Hehehe…
CERPEN: TUJUH HARI SAJA!
“Hei, bangun!”
Mungkin kalimat kolaborasi itu yang akan aku dengar jika jam dinding, weker, serta baju yang kugantung di belakang pintu bisa berbicara. Tapi ini dunia nyata. Hanya suara ibu yang terdengar, yang selalu membuatku membuka mata di awal aktivitasku beberapa hari ini. Itupun karena dalam beberapa hari ini aku selalu lupa menyalakan alarm pada jam wekerku.
Dengan lekas kunyalakan lampu. Uh…cahayanya merasuk kasar ke dalam bola mataku. Aku bangkit dari pembaringan dan langsung terduduk. Lalu kuperhatikan keadaan kamar, masih sama seperti pada saat aku tinggal tidur tadi malam.
Pagi ini masih terasa sangat sejuk. Seharusnya udara sejuk inilah yang bias membuatku terlebih otakku untuk kembali segar dan siap menjalankan aktivitas hari ini dengan baik. Namun entah mengapa udara segar hari ini tak membuatku seperti itu. Udara sejuk kali ini bukannya membuatku bersemangat melihat ke depan, tapi malah membuatku teringat pada peristiwa kemarin.
Kemarin adalah hari yang menjembataniku pada kesulitan-kesulitan yang melelahkan. Kesulitan-kesulitan yang juga membingungkan. Kemarin Flury nembak aku lagi untuk yang ketiga kalinya. Ia sangat tidak puas jika status hubungannya denganku hanya sebatas sahabat, meskipun ini cara terbaik untuk kami berdua. Aku sangat menyayangkan keputusannya yang selalu mendesakku agar aku menerima cintanya. Jujur saja saat ini bahkan mungkin untuk haru-hari selanjutnya, aku tak pernah memiliki perasaan yang istimewa padanya seperti yang ia rasakan terhadapku. Aku hanya menganggapnya sebagai seorang adik, tak lebih. Karena Flury lebih muda 5 bulan dariku. Sehingga aku sering memanjakan dia layaknya seorang kakak terhadap adiknya.
Satu hal yang membuatku sangat kebingunan adalah Flury merupakan seorang gadis manja yang nekat melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Kali ini dia nembak aku dengan menyertai sebuah ancaman andaikan aku tidak menerima cintanya. Dia mengeluarkan ancaman akan bunuh diri! Oo…sebegitu besarnyakah cintanya terhadapku? Lalu mau di kemanakan hubunganku dengan Venus yang baru seminggu ini terjalin? Uuuh…aku super bingung! Otakku dipenuhi berbagai macam pemikiran yang tak berguna di pagi ini. Pagi yang seharusnya menjadi penyejuk kegelisahanku atas kejadian-kejadian kemarin atau kemarin lusa.
***
Aku tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Lalu aku masuk kelas dengan sejuta kegundahanku. Ternyata aku adalah orang pertama yang hadir di kelas. Tas gendong hitam kesayanganku kubanting keatas meja seperti mengisyaratkan pada dunia bahwa…”Hai…inilah seorang Rhino yang sedang mengalami kebingungan mendalam!”
Aku duduk dan kembali memikirkan apa yang harus aku lakukan terhadap tawaran Flury nanti. Namun sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, si nona pembuat pusing sudah dating dengan sejuta senyum yang sama sekali tidak aku suka.
“Hai…Rhino!” sapa Flury sambil mendekatiku dan duduk di sebelahku.
Meskipun malas, aku tetap berusaha menghargai sapaannya. “Hai…”
“Rhino…tawaran Flury udah Rhino pikirin baik-baik kan? Dan jawabannya pasti iya kan? Ayolah, No!” desak Flury. Kedua tangannya mencengkeram kedua lenganku.
“Flur, Rhino bukannya gak mau jadi pacar Flury, tapi…”
“Tapi apa, No?” potong Flury.
“Venus!” jawabku singkat.
“Huh…dia lagi dia lagi. Emangnya Flury pikirin! Yang pasti sekarang Flury mau Rhino jadi pacar Flury, titik!”
Aku menatap wajah Flury dengan tajam. Keteraturan nafasku semakin menjauhi normal. Lalu aku memandangi keadaan sekitar. Makin lama makin banyak orang yang hadir di kelas. Apalagi jam dengan lingkar biru yang bertengger di dinding kelasku mengarahkan jarum panjangnya ke angka 12, itu berarti pukul tujuh tiba sudah. Apa yang harus aku lakukan? Menerima cinta Flury atau menerima akibat dari penolakanku?
Mulut, hati, dan pikiran ini terasa tersendat menghadapi sesuatu yang harus aku hadapi sekarang. Aku masih belum mau membuka mulutku dan mengeluarkan pernyataan. Tapi Flury masih saja terus dan terus mendesakku. Lenganku diguncangkannya keras-keras sebagai tanda ketidaksabarannya. Namun sebelum satu kalimat keluar dari mulutku, guru Fisika keburu datang dengan langkah berwibawanya.
“Flur, ada Pak Samsu. Ngomongnya dilanjutin aja nanti ya, pas jam istirahat,” kataku dengan suara rendah namun cepat.
Flury menyingkir dari mejaku. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Namun dari wajahnya, aku melihat ada guratan kekesalan padanya atas kejadian ini. Tidak sepertiku yang sedikit lega atas kehadiran sang guru Fisika. Seridaknya aku masih punya waktu beberapa jam untuk kembali menelaah dan memikirkan apa yang harus aku perbuat nanti.
Maaf Pak, hari ini aku tidak dapat berkonsentrasi dengan pelajaran yang bapak berikan!
Setengah jam berlalu. Pak Samsu masih menerangkan mata pelajarannya dengan tanggung jawabnya yang tinggi. Catatan pun telah diberikannya untuk kami salin dan kami pelajari. Tapi aku ingkar terhadap janjiku sebagai pelajar. Buku milikku masih kosong. Benar-benar kosong. Andai saja saat ini aku tengah berada di atas batu karang yang berhadapan dengan samudera bebas, aku akan berteriak sekeras mungkin. ARRRRRGH!!! Aku pusing. Aku bingung. Aku tak sanggup lagi berkata-kata.
***
WOW! Bel istirahat sudah berteriak dengan lantang. Mungkin ini adalah suara bel yang paling aku benci sepanjang hidupku. Mengapa jika kita mengharapkan agar waktu berjalan lambat, malah selalu terjadi sebaliknya. Aku benar-benar tidak bersemangat hari ini. Sepertinya hari ini, aku adalah manusia yang diselimuti ketakutan berlebih. Aku takut salah mengambil keputusan. Dan memang sudah jelas, aku menerima dan menolak Flury pun akan berbuntut pada satu kesalahan. Bagiku kedua pilihan ini tak ada yang patut dipilih. Kedua-duanya salah!
“Rhinooo…gimana?” tanya Flury yang tiba-tiba sudah ada dihadapanku.
“Flur, kita ke belakang perpus. Ngomonginnya disana,” kataku tegas.
Dengan tergesa, aku dan Flury pergi ke belakang perpustakaan yang merupakan sebuah lapangan kecil yang terurus dengan rapi. Sebelum sampai di tempat tujuan, Oh God, Venus ada di depan perpustakaan bersama Tania, teman satu kelasnya. Beberapa buku dipeluknya erat-erat. Aku harus megambil jalan lain untuk dapat menuju kesana, ke belakang perpustakaan. Dan akhirnya berhasil dengan sempurna.
“Sekarang mau Flury apa?” tanyaku sambil meredam kekasalan.
“Ih, masa Rhino gak ngerti-ngerti? Rhino harus terima Flury jadi pacar Rhino,” jawab Flury dengan nada manja dan kekanak-kanakan.
“Tapi Flury kan tahu kalo Rhino itu udah punya pacar. Ya Rhino gak bisa gitu aja nerima Flury jadi pacar Rhino,” tegasku.
“Ya udah, putusin aja si Venus!” kata Flury ketus.
“Ya enggak bisa semudah itu dong! Masa tanpa alesan yang jelas tiba-tiba Rhino putusin Venus dan lagipula Rhino sayang sama dia.”
“Jadi Rhino gak sayang sama Flury?” tanyanya.
“Rhino juga sayang sama Flury.”
“Kalo Rhino sayang sama Venus dan juga Flury, udah aja Rhino pacaran sama dua-duanya.”
Aduh, Flury benar-benar tidak mengerti apa itu cinta! Mungkin ia menganggap cinta itu adalah sesuatu yang sangat mudah untuk dipaksakan. Dan cinta itu…just for fun! Ia tak mengerti apapun. Ia benar-benar anak manja yang polos, riang, dan agak rese.
“Kalo…Rhino gak terima Flury gimana?” tanyaku pelan.
“Apa?!” Flury membelalakan matanya.
“Eh…ini baru misalnya lho…”
“Ngapain Flury hidup? Rhino gak mau kan lihat Flury bunuh diri?”
Aku terdiam sejenak.
“Ya udah…Rhino terima Flury jadi pacar Rhino…” dengan terpaksa aku mengeluarkan pernyataan ini.
BRUUUK!!!
Tiba-tiba telingaku menangkap suara beberapa buku yang terjatuh. Aku menyebar pandanganku ke segala arah. Dan setelah aku tahu buku siapa tersebut, akupun terkejut. hah? Itu buku-buku Venus dan pemiliknya pun ada disana. Tanpa sepengetahuanku dan Flury, ternyata Venus sudah ada di belakangku. Hanya saja Venus terhalang tembok laboratorium yang bersebelahan dengan perpustakaan.
Aku dan Venus saling bertatapan. Kami terdiam. Begitu pun dengan Flury. Aku melihat Flury menatap wajah Venus dengan pandangan aneh. Entah apa itu?
“No, Flury ke kantin dulu ah, laper!” tanpa rasa bersalah, Flury berlari kecil meninggalkan aku dan Venus. “Hei Venus, awas lho gangguin pacar Flury!” katanya lagi.
Kini hanya tinggal aku dan Venus di sana. Kami masih saling bertatapan dalam diam. Aku tahu apa yang sedang Venus rasakan sekarang. Sakit, pasti itu yang sedang dirasakannya, tidak mungkin tidak. Tapi aku terpaksa. Aku terjebak dalam situasi yang sangat buruk.
Tak berselang lama, Venus memutar badannya dan melangkahkan kakinya menjauhiku. Aku berusaha mengejar. Kuraih lengan kirinya. Namun tanpa banyak basa-basi, Venus menghentakkan tangannya dengan tujuan agar genggaman tanganku lepas dari lengannya.
“Venus, aku bisa jelasin ini semua…” kataku penuh kekhawatiran.
“Apa yang mau dijelasin? Udah jelas kok. Aku udah lihat sendiri.”
“Itu gak kayak yang kamu kira. Sama sekali enggak!” kataku lagi mencoba meyakinkan.
“Kalo semuanya gak kayak yang aku kira, ya udah apa penjelasan kamu?” Venus mulai marah.
“Gini, sebenernya aku ngerasa berdosa banget atas keputusan ini…”
“Ya jelas lah! Ini berarti kamu udah ngekhianatin aku,” potong Venus. “Dengan alasan apapun ini gak bisa diterima!” katanya lagi.
“Ada! Ada satu alesan yang patut kamu terima. Keputusan ini adalah keputusan yang aku ambil dengan sangat-sangat terpaksa. Mungkin kamu gak akan pernah percaya kalo aku ceritain yang sebenernya, kenapa aku mau terima Flury?”
“Ya udah, to the point aja, maksudnya apa?” tanya Venus masih marah.
“Sebenernya keputusanku nerima Flury jadi pacarku cuman sandiwara belaka. Aku belom sempet cerita sama kamu bahwa sebelum ini Flury udah nembak aku 2 kali. Dan ini penembakan yang ketiga kalinya,” aku mulai menguak semuanya. “Tapi…sesuatu yang istimewa dari penembakan kali ini adalah ancaman!”
Venus mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk. Pandangannya ia fokuskan ke dalam mataku. Garis dan lekukan di wajahnya jelas melukiskan keanehan, kebingungan, dan tanda tanya besar saat aku menyebutkan kata ‘ancaman’. Aku tak tahan bila harus mempertahankan wajah penasaran Venus waktu itu.
“Ancaman? Ancaman apa?” belum sempat aku berbicara, Venus sudah keburu menyerangku dengan pertanyaan.
“Kalo aku gak terima dia jadi pacarku, dia mau…bunuh diri!” kataku. Venus cukup terkejut mendengarnya. “Aku terpaksa ngambil keputusan ini buat nyelametin dia dari perbuatan nekatnya.”
“Bunuh diri?” tanya Venus seakan tak percaya. “Apa aku harus percaya sama omongan kamu?” tanyanya lagi.
“Tapi kenyataannya emang kayak gitu!” tegasku penuh keyakinan.
“Jadi sekarang gimana?”
“Uh…aku bingung!”
“Ya udah sekarang gini aja…” Venus menunda ucapannya sejenak. Dengan penuh pemikiran barulah ia berucap. “…putusin aku!”
Apa? Tak salah dengarkah aku? Venus memintaku agar aku memutuskan hubungannya denganku. Ia tak rela jika harus diduakan olehku. Apalagi orang aku pacari adalah Flury, seorang gadis manja yang tidak pernah bisa mandiri. Venus tak mau itu.
“Ven, aku gak mau putus…” ucapku memohon.
“Lalu?” tanya Venus.
“Aku janji hubunganku dengan Flury gak akan berlangsung lama. Cuman beberapa hari ini aja semua ini aku lakuin, setelah itu aku putusin dia!”
“Terus, kalo nanti dia nekat gimana?”
“Selama aku pacaran sama dia, aku akan cari caranya,” jawabku pelan.
“Oke, aku kasih kamu waktu tujuh hari aja buat jalan sama Flury, dan setelah itu kamu harus bener-bener putusin dia. Inget, hubungan kamu sama dia cuman sebatas sandiwara. Kalo kamu macem-macem dibelakangku, kita putus beneran. Dan satu hal lagi, kamu harus ngerahasiain ini semua dari siapapun,” ucap Venus menyetujui. Namun serentetan persyaratan pun mengalir bebas dari mulutnya.
***
Hari ini adalah hari keempat sejak aku menerima Flury jadi pacarku. Di hari ini pula sesuatu terjadi. Venus menemuiku di kelas saat jam istirahat. Ia membawa wajah marahnya sekaligus membawaku ke tempat yang agak sepi di sekolah.
“No, pokoknya kamu harus putusin Flury!” pinta Venus tiba-tiba.
“Hei kenapa? Bukannya perjanjian kita tujuh hari?” tanyaku heran.
“Aku malu! Temen-temen udah pada tahu semuanya. Si Flury sendiri yang bilang ke semua orang!” jelas Venus mengkhawatirkan.
“Aku janji besok aku putusin dia,” ucapku pelan. Aku meyakinkan Venus bahwa ucapanku benar adanya.
“Aku mau hari ini! Pokoknya hari ini, kalo enggak kita putus!” ucap Venus seraya meninggalkanku sendiri. Aku hanya bisa memandanginya dari belakang.
Oke…hari ini juga aku harus memenuhi desakan Venus…
***
Pelajaran hari ini telah usai. Aku pulang bersama pacar baruku, Flury. Ia terlihat lain hari ini. Dia nampak lebih cantik dari hari-hari kemarin. Dan keceriaan yang sangat luar biasa merangkul tubuhnya. Padahal beberpa menit yang akan datang, mungkin keceriaan itu akan hilang dalam sekejap saat ia mendengar pernyataanku.
Entah kenapa hari ini aku ingin terus dan terus memandanginya. Ia benar-benar cantik. Meskipun aku sudah berusaha megalihkan pandanganku darinya, namun tetap saja alat penglihatanku selalu tertuju kembali padanya. Sampai-sampai terbersit dalam benakku untuk membatalkan rencanaku. Melihat wajahnya, aku benar-benar tak tega.
Kami berhenti di depan jalan raya dan berdiri diatas trotoar untuk menunggu mobil angkutan kota yang datang. Aku tahu sekarang adalah saat yang tepat untuk menjalankan rencanaku terhadap Flury. Tapi ketakutan melandaku secara tiba-tiba. Aku bukan takut sulit berkata-kata, tapi aku takut melihat reaksi Flury saat aku mengeluarkan ucapanku. Sementara saat ini Flury belum juga mau melepaskan keceriaan itu dari wajahnya. Meskipun demikian, aku harus tetap menjalankan rencanaku. Aku menarik nafasku dalam-dalam dan mulai membuka mulutku untuk berbicara.
“Flur…”
“Eh No, itu di seberang ada loper koran, Flury mau beli majalah dulu ah!” seru Flury memotong ucapanku.
Uh gagal! Tapi belum untuk yang kedua kalinya. Masih ada waktu, semoga.
Aku hanya bisa memandangi Flury yang antusias menyeberangi jalan untuk membeli majalah. Flury tampak begitu riang meskipun beberapa saat lagi aku akan bertindak sesuatu yang tidak menyenangkan terhadap dirinya. Namun tiba-tiba sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Saat itu Flury kurang berkonsentrasi pada jalanan. Saat itu tiba-tiba sebuah truk menghempaskan tubuhnya dengan sangat keras, sehingga tubuh Flury terpental beberapa meter ke depan dari tempat asalnya. Aku kaget dan panik. Dengan cepat aku mendekati tubuh Flury yang tergeletak lemah di tengah jalan. Aku tak peduli dengan banyaknya mobil-mobil yangberseliweran di sekitarku. Aku hanya mengkhawatirkan Flury. Dia adik kecilku.
Tak pernah aku duga sebelumnya, sungai kecil telah mengalir deras di pipiku. Aku tak kuasa melihat wajah Flury yang semenit lalu memancarkan keceriaan, kini harus terdiam kaku dan berlumuran darah di kepala dan beberapa bagian tubuhnya yang lain. Aku benar-benar tak kuasa.
“FLUUURY!!!”
***
Aku duduk dan termenung di kursi Rumah Sakit. Pikiranku menerawang jauh. Saat ini aku hanya bisa menunggu kehadirang Venus yang akan berjanji akan datang secepatnya. Dan akhirnya dia datang setengah jam kemudian sejak aku hubungi ponselnya.
“No, kamu ngapain nelpon dan nyuruh aku dateng ke sini? Siapa yang sakit?” tanya Venus sesaat setelah ia ada di hadapanku. Lalu ia pun duduk di sampingku.
“Flury…”
“Flury sakit?”
“Enggak…dia udah…pergi…” jawabku lemah. Venus terkejut mendengarnya. “Tadi siang dia ketabrak truk…”
Venus tak berkata-kata. Meskipun Venus membenci sikap Flury, namun sekarang aku tak melihat itu semua. Aku menangkap ada rasa duka di hatinya. Sama seperti aku, tak bisa menyembunyikan kesedihanku.
Kini Flury telah tiada. Tak ada lagi yang merintangi cintaku dengan Venus. Meskipun aku tak pernah tahu, atas kematian Flury, aku harus bersedih atau berbahagia. Namun satu hal yang pasti, dengan atau tanpa adanya Flury, cintaku dan Venus akan terus kupertahankan.
***
12 April 2005
Mungkin kalimat kolaborasi itu yang akan aku dengar jika jam dinding, weker, serta baju yang kugantung di belakang pintu bisa berbicara. Tapi ini dunia nyata. Hanya suara ibu yang terdengar, yang selalu membuatku membuka mata di awal aktivitasku beberapa hari ini. Itupun karena dalam beberapa hari ini aku selalu lupa menyalakan alarm pada jam wekerku.
Dengan lekas kunyalakan lampu. Uh…cahayanya merasuk kasar ke dalam bola mataku. Aku bangkit dari pembaringan dan langsung terduduk. Lalu kuperhatikan keadaan kamar, masih sama seperti pada saat aku tinggal tidur tadi malam.
Pagi ini masih terasa sangat sejuk. Seharusnya udara sejuk inilah yang bias membuatku terlebih otakku untuk kembali segar dan siap menjalankan aktivitas hari ini dengan baik. Namun entah mengapa udara segar hari ini tak membuatku seperti itu. Udara sejuk kali ini bukannya membuatku bersemangat melihat ke depan, tapi malah membuatku teringat pada peristiwa kemarin.
Kemarin adalah hari yang menjembataniku pada kesulitan-kesulitan yang melelahkan. Kesulitan-kesulitan yang juga membingungkan. Kemarin Flury nembak aku lagi untuk yang ketiga kalinya. Ia sangat tidak puas jika status hubungannya denganku hanya sebatas sahabat, meskipun ini cara terbaik untuk kami berdua. Aku sangat menyayangkan keputusannya yang selalu mendesakku agar aku menerima cintanya. Jujur saja saat ini bahkan mungkin untuk haru-hari selanjutnya, aku tak pernah memiliki perasaan yang istimewa padanya seperti yang ia rasakan terhadapku. Aku hanya menganggapnya sebagai seorang adik, tak lebih. Karena Flury lebih muda 5 bulan dariku. Sehingga aku sering memanjakan dia layaknya seorang kakak terhadap adiknya.
Satu hal yang membuatku sangat kebingunan adalah Flury merupakan seorang gadis manja yang nekat melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Kali ini dia nembak aku dengan menyertai sebuah ancaman andaikan aku tidak menerima cintanya. Dia mengeluarkan ancaman akan bunuh diri! Oo…sebegitu besarnyakah cintanya terhadapku? Lalu mau di kemanakan hubunganku dengan Venus yang baru seminggu ini terjalin? Uuuh…aku super bingung! Otakku dipenuhi berbagai macam pemikiran yang tak berguna di pagi ini. Pagi yang seharusnya menjadi penyejuk kegelisahanku atas kejadian-kejadian kemarin atau kemarin lusa.
***
Aku tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Lalu aku masuk kelas dengan sejuta kegundahanku. Ternyata aku adalah orang pertama yang hadir di kelas. Tas gendong hitam kesayanganku kubanting keatas meja seperti mengisyaratkan pada dunia bahwa…”Hai…inilah seorang Rhino yang sedang mengalami kebingungan mendalam!”
Aku duduk dan kembali memikirkan apa yang harus aku lakukan terhadap tawaran Flury nanti. Namun sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, si nona pembuat pusing sudah dating dengan sejuta senyum yang sama sekali tidak aku suka.
“Hai…Rhino!” sapa Flury sambil mendekatiku dan duduk di sebelahku.
Meskipun malas, aku tetap berusaha menghargai sapaannya. “Hai…”
“Rhino…tawaran Flury udah Rhino pikirin baik-baik kan? Dan jawabannya pasti iya kan? Ayolah, No!” desak Flury. Kedua tangannya mencengkeram kedua lenganku.
“Flur, Rhino bukannya gak mau jadi pacar Flury, tapi…”
“Tapi apa, No?” potong Flury.
“Venus!” jawabku singkat.
“Huh…dia lagi dia lagi. Emangnya Flury pikirin! Yang pasti sekarang Flury mau Rhino jadi pacar Flury, titik!”
Aku menatap wajah Flury dengan tajam. Keteraturan nafasku semakin menjauhi normal. Lalu aku memandangi keadaan sekitar. Makin lama makin banyak orang yang hadir di kelas. Apalagi jam dengan lingkar biru yang bertengger di dinding kelasku mengarahkan jarum panjangnya ke angka 12, itu berarti pukul tujuh tiba sudah. Apa yang harus aku lakukan? Menerima cinta Flury atau menerima akibat dari penolakanku?
Mulut, hati, dan pikiran ini terasa tersendat menghadapi sesuatu yang harus aku hadapi sekarang. Aku masih belum mau membuka mulutku dan mengeluarkan pernyataan. Tapi Flury masih saja terus dan terus mendesakku. Lenganku diguncangkannya keras-keras sebagai tanda ketidaksabarannya. Namun sebelum satu kalimat keluar dari mulutku, guru Fisika keburu datang dengan langkah berwibawanya.
“Flur, ada Pak Samsu. Ngomongnya dilanjutin aja nanti ya, pas jam istirahat,” kataku dengan suara rendah namun cepat.
Flury menyingkir dari mejaku. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Namun dari wajahnya, aku melihat ada guratan kekesalan padanya atas kejadian ini. Tidak sepertiku yang sedikit lega atas kehadiran sang guru Fisika. Seridaknya aku masih punya waktu beberapa jam untuk kembali menelaah dan memikirkan apa yang harus aku perbuat nanti.
Maaf Pak, hari ini aku tidak dapat berkonsentrasi dengan pelajaran yang bapak berikan!
Setengah jam berlalu. Pak Samsu masih menerangkan mata pelajarannya dengan tanggung jawabnya yang tinggi. Catatan pun telah diberikannya untuk kami salin dan kami pelajari. Tapi aku ingkar terhadap janjiku sebagai pelajar. Buku milikku masih kosong. Benar-benar kosong. Andai saja saat ini aku tengah berada di atas batu karang yang berhadapan dengan samudera bebas, aku akan berteriak sekeras mungkin. ARRRRRGH!!! Aku pusing. Aku bingung. Aku tak sanggup lagi berkata-kata.
***
WOW! Bel istirahat sudah berteriak dengan lantang. Mungkin ini adalah suara bel yang paling aku benci sepanjang hidupku. Mengapa jika kita mengharapkan agar waktu berjalan lambat, malah selalu terjadi sebaliknya. Aku benar-benar tidak bersemangat hari ini. Sepertinya hari ini, aku adalah manusia yang diselimuti ketakutan berlebih. Aku takut salah mengambil keputusan. Dan memang sudah jelas, aku menerima dan menolak Flury pun akan berbuntut pada satu kesalahan. Bagiku kedua pilihan ini tak ada yang patut dipilih. Kedua-duanya salah!
“Rhinooo…gimana?” tanya Flury yang tiba-tiba sudah ada dihadapanku.
“Flur, kita ke belakang perpus. Ngomonginnya disana,” kataku tegas.
Dengan tergesa, aku dan Flury pergi ke belakang perpustakaan yang merupakan sebuah lapangan kecil yang terurus dengan rapi. Sebelum sampai di tempat tujuan, Oh God, Venus ada di depan perpustakaan bersama Tania, teman satu kelasnya. Beberapa buku dipeluknya erat-erat. Aku harus megambil jalan lain untuk dapat menuju kesana, ke belakang perpustakaan. Dan akhirnya berhasil dengan sempurna.
“Sekarang mau Flury apa?” tanyaku sambil meredam kekasalan.
“Ih, masa Rhino gak ngerti-ngerti? Rhino harus terima Flury jadi pacar Rhino,” jawab Flury dengan nada manja dan kekanak-kanakan.
“Tapi Flury kan tahu kalo Rhino itu udah punya pacar. Ya Rhino gak bisa gitu aja nerima Flury jadi pacar Rhino,” tegasku.
“Ya udah, putusin aja si Venus!” kata Flury ketus.
“Ya enggak bisa semudah itu dong! Masa tanpa alesan yang jelas tiba-tiba Rhino putusin Venus dan lagipula Rhino sayang sama dia.”
“Jadi Rhino gak sayang sama Flury?” tanyanya.
“Rhino juga sayang sama Flury.”
“Kalo Rhino sayang sama Venus dan juga Flury, udah aja Rhino pacaran sama dua-duanya.”
Aduh, Flury benar-benar tidak mengerti apa itu cinta! Mungkin ia menganggap cinta itu adalah sesuatu yang sangat mudah untuk dipaksakan. Dan cinta itu…just for fun! Ia tak mengerti apapun. Ia benar-benar anak manja yang polos, riang, dan agak rese.
“Kalo…Rhino gak terima Flury gimana?” tanyaku pelan.
“Apa?!” Flury membelalakan matanya.
“Eh…ini baru misalnya lho…”
“Ngapain Flury hidup? Rhino gak mau kan lihat Flury bunuh diri?”
Aku terdiam sejenak.
“Ya udah…Rhino terima Flury jadi pacar Rhino…” dengan terpaksa aku mengeluarkan pernyataan ini.
BRUUUK!!!
Tiba-tiba telingaku menangkap suara beberapa buku yang terjatuh. Aku menyebar pandanganku ke segala arah. Dan setelah aku tahu buku siapa tersebut, akupun terkejut. hah? Itu buku-buku Venus dan pemiliknya pun ada disana. Tanpa sepengetahuanku dan Flury, ternyata Venus sudah ada di belakangku. Hanya saja Venus terhalang tembok laboratorium yang bersebelahan dengan perpustakaan.
Aku dan Venus saling bertatapan. Kami terdiam. Begitu pun dengan Flury. Aku melihat Flury menatap wajah Venus dengan pandangan aneh. Entah apa itu?
“No, Flury ke kantin dulu ah, laper!” tanpa rasa bersalah, Flury berlari kecil meninggalkan aku dan Venus. “Hei Venus, awas lho gangguin pacar Flury!” katanya lagi.
Kini hanya tinggal aku dan Venus di sana. Kami masih saling bertatapan dalam diam. Aku tahu apa yang sedang Venus rasakan sekarang. Sakit, pasti itu yang sedang dirasakannya, tidak mungkin tidak. Tapi aku terpaksa. Aku terjebak dalam situasi yang sangat buruk.
Tak berselang lama, Venus memutar badannya dan melangkahkan kakinya menjauhiku. Aku berusaha mengejar. Kuraih lengan kirinya. Namun tanpa banyak basa-basi, Venus menghentakkan tangannya dengan tujuan agar genggaman tanganku lepas dari lengannya.
“Venus, aku bisa jelasin ini semua…” kataku penuh kekhawatiran.
“Apa yang mau dijelasin? Udah jelas kok. Aku udah lihat sendiri.”
“Itu gak kayak yang kamu kira. Sama sekali enggak!” kataku lagi mencoba meyakinkan.
“Kalo semuanya gak kayak yang aku kira, ya udah apa penjelasan kamu?” Venus mulai marah.
“Gini, sebenernya aku ngerasa berdosa banget atas keputusan ini…”
“Ya jelas lah! Ini berarti kamu udah ngekhianatin aku,” potong Venus. “Dengan alasan apapun ini gak bisa diterima!” katanya lagi.
“Ada! Ada satu alesan yang patut kamu terima. Keputusan ini adalah keputusan yang aku ambil dengan sangat-sangat terpaksa. Mungkin kamu gak akan pernah percaya kalo aku ceritain yang sebenernya, kenapa aku mau terima Flury?”
“Ya udah, to the point aja, maksudnya apa?” tanya Venus masih marah.
“Sebenernya keputusanku nerima Flury jadi pacarku cuman sandiwara belaka. Aku belom sempet cerita sama kamu bahwa sebelum ini Flury udah nembak aku 2 kali. Dan ini penembakan yang ketiga kalinya,” aku mulai menguak semuanya. “Tapi…sesuatu yang istimewa dari penembakan kali ini adalah ancaman!”
Venus mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk. Pandangannya ia fokuskan ke dalam mataku. Garis dan lekukan di wajahnya jelas melukiskan keanehan, kebingungan, dan tanda tanya besar saat aku menyebutkan kata ‘ancaman’. Aku tak tahan bila harus mempertahankan wajah penasaran Venus waktu itu.
“Ancaman? Ancaman apa?” belum sempat aku berbicara, Venus sudah keburu menyerangku dengan pertanyaan.
“Kalo aku gak terima dia jadi pacarku, dia mau…bunuh diri!” kataku. Venus cukup terkejut mendengarnya. “Aku terpaksa ngambil keputusan ini buat nyelametin dia dari perbuatan nekatnya.”
“Bunuh diri?” tanya Venus seakan tak percaya. “Apa aku harus percaya sama omongan kamu?” tanyanya lagi.
“Tapi kenyataannya emang kayak gitu!” tegasku penuh keyakinan.
“Jadi sekarang gimana?”
“Uh…aku bingung!”
“Ya udah sekarang gini aja…” Venus menunda ucapannya sejenak. Dengan penuh pemikiran barulah ia berucap. “…putusin aku!”
Apa? Tak salah dengarkah aku? Venus memintaku agar aku memutuskan hubungannya denganku. Ia tak rela jika harus diduakan olehku. Apalagi orang aku pacari adalah Flury, seorang gadis manja yang tidak pernah bisa mandiri. Venus tak mau itu.
“Ven, aku gak mau putus…” ucapku memohon.
“Lalu?” tanya Venus.
“Aku janji hubunganku dengan Flury gak akan berlangsung lama. Cuman beberapa hari ini aja semua ini aku lakuin, setelah itu aku putusin dia!”
“Terus, kalo nanti dia nekat gimana?”
“Selama aku pacaran sama dia, aku akan cari caranya,” jawabku pelan.
“Oke, aku kasih kamu waktu tujuh hari aja buat jalan sama Flury, dan setelah itu kamu harus bener-bener putusin dia. Inget, hubungan kamu sama dia cuman sebatas sandiwara. Kalo kamu macem-macem dibelakangku, kita putus beneran. Dan satu hal lagi, kamu harus ngerahasiain ini semua dari siapapun,” ucap Venus menyetujui. Namun serentetan persyaratan pun mengalir bebas dari mulutnya.
***
Hari ini adalah hari keempat sejak aku menerima Flury jadi pacarku. Di hari ini pula sesuatu terjadi. Venus menemuiku di kelas saat jam istirahat. Ia membawa wajah marahnya sekaligus membawaku ke tempat yang agak sepi di sekolah.
“No, pokoknya kamu harus putusin Flury!” pinta Venus tiba-tiba.
“Hei kenapa? Bukannya perjanjian kita tujuh hari?” tanyaku heran.
“Aku malu! Temen-temen udah pada tahu semuanya. Si Flury sendiri yang bilang ke semua orang!” jelas Venus mengkhawatirkan.
“Aku janji besok aku putusin dia,” ucapku pelan. Aku meyakinkan Venus bahwa ucapanku benar adanya.
“Aku mau hari ini! Pokoknya hari ini, kalo enggak kita putus!” ucap Venus seraya meninggalkanku sendiri. Aku hanya bisa memandanginya dari belakang.
Oke…hari ini juga aku harus memenuhi desakan Venus…
***
Pelajaran hari ini telah usai. Aku pulang bersama pacar baruku, Flury. Ia terlihat lain hari ini. Dia nampak lebih cantik dari hari-hari kemarin. Dan keceriaan yang sangat luar biasa merangkul tubuhnya. Padahal beberpa menit yang akan datang, mungkin keceriaan itu akan hilang dalam sekejap saat ia mendengar pernyataanku.
Entah kenapa hari ini aku ingin terus dan terus memandanginya. Ia benar-benar cantik. Meskipun aku sudah berusaha megalihkan pandanganku darinya, namun tetap saja alat penglihatanku selalu tertuju kembali padanya. Sampai-sampai terbersit dalam benakku untuk membatalkan rencanaku. Melihat wajahnya, aku benar-benar tak tega.
Kami berhenti di depan jalan raya dan berdiri diatas trotoar untuk menunggu mobil angkutan kota yang datang. Aku tahu sekarang adalah saat yang tepat untuk menjalankan rencanaku terhadap Flury. Tapi ketakutan melandaku secara tiba-tiba. Aku bukan takut sulit berkata-kata, tapi aku takut melihat reaksi Flury saat aku mengeluarkan ucapanku. Sementara saat ini Flury belum juga mau melepaskan keceriaan itu dari wajahnya. Meskipun demikian, aku harus tetap menjalankan rencanaku. Aku menarik nafasku dalam-dalam dan mulai membuka mulutku untuk berbicara.
“Flur…”
“Eh No, itu di seberang ada loper koran, Flury mau beli majalah dulu ah!” seru Flury memotong ucapanku.
Uh gagal! Tapi belum untuk yang kedua kalinya. Masih ada waktu, semoga.
Aku hanya bisa memandangi Flury yang antusias menyeberangi jalan untuk membeli majalah. Flury tampak begitu riang meskipun beberapa saat lagi aku akan bertindak sesuatu yang tidak menyenangkan terhadap dirinya. Namun tiba-tiba sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Saat itu Flury kurang berkonsentrasi pada jalanan. Saat itu tiba-tiba sebuah truk menghempaskan tubuhnya dengan sangat keras, sehingga tubuh Flury terpental beberapa meter ke depan dari tempat asalnya. Aku kaget dan panik. Dengan cepat aku mendekati tubuh Flury yang tergeletak lemah di tengah jalan. Aku tak peduli dengan banyaknya mobil-mobil yangberseliweran di sekitarku. Aku hanya mengkhawatirkan Flury. Dia adik kecilku.
Tak pernah aku duga sebelumnya, sungai kecil telah mengalir deras di pipiku. Aku tak kuasa melihat wajah Flury yang semenit lalu memancarkan keceriaan, kini harus terdiam kaku dan berlumuran darah di kepala dan beberapa bagian tubuhnya yang lain. Aku benar-benar tak kuasa.
“FLUUURY!!!”
***
Aku duduk dan termenung di kursi Rumah Sakit. Pikiranku menerawang jauh. Saat ini aku hanya bisa menunggu kehadirang Venus yang akan berjanji akan datang secepatnya. Dan akhirnya dia datang setengah jam kemudian sejak aku hubungi ponselnya.
“No, kamu ngapain nelpon dan nyuruh aku dateng ke sini? Siapa yang sakit?” tanya Venus sesaat setelah ia ada di hadapanku. Lalu ia pun duduk di sampingku.
“Flury…”
“Flury sakit?”
“Enggak…dia udah…pergi…” jawabku lemah. Venus terkejut mendengarnya. “Tadi siang dia ketabrak truk…”
Venus tak berkata-kata. Meskipun Venus membenci sikap Flury, namun sekarang aku tak melihat itu semua. Aku menangkap ada rasa duka di hatinya. Sama seperti aku, tak bisa menyembunyikan kesedihanku.
Kini Flury telah tiada. Tak ada lagi yang merintangi cintaku dengan Venus. Meskipun aku tak pernah tahu, atas kematian Flury, aku harus bersedih atau berbahagia. Namun satu hal yang pasti, dengan atau tanpa adanya Flury, cintaku dan Venus akan terus kupertahankan.
***
12 April 2005
Langganan:
Postingan (Atom)